“Surat itu suara hati” kata Mama.
“Surat bisa mewakili pikiran, perasaan, dan kerinduan kita. Tergantung
bagaimana kita memindahkan semua itu ke dalam bahasa yang kita tuliskan,”
lanjut Mama. “Berarti susah, kan Ma, nulisnya?” tanya Attar. Sebuah bolpoin dan
secarik kertas masih di kedua tangannya. “Tidak juga,” jawab Mama sambil
memindahkan panci dari atas kompor. Attar menatap Mamanya dengan tatapan tak
mengerti.
“Kuncinya hanya satu.” Lanjut Mama.
“Apa itu, Ma?” tanya Attar makin penasaran. “Kejujuran,” ungkap Mama. “Walaupun
kita sedang marah?” tanya Attar seperti akan memprotes. Mamanya mengangguk
sambil tersenyum. “Makasih, Ma,” jawab Attar terus berlari masuk ke kamar,
mengunci pintu, dan mulai menulis surat. Mamanya menatap anak semata wayangnya
itu dengan penuh kasih.
Di
dalam kamar, Attar asyik menulis surat untuk Rini. Ada kekecewaan yang dia
tuliskan, mengapa Rini harus pindah sehingga ia kini harus duduk sendiri. Rini
adalah sahbat dekatnya yang paling tahu keinginannya. Tetapi, sejak Rini
mengikuti orang tuanya pindah tugas ke NTB, ia merasa sendirian di dunia. Rini
tidak pernah memberinya nomer telpon karena, rumah yang ditempatinya jauh dari
kota. Satu – satunya alat untuk berkomunikasi dengan dunia luar hanya lewat
surat. Walaupun ada ponsel, tetapi tidak ada gunanya karena tidak ada sinyal.
Hampir
satu jam Attar mencoba menulis surat, namun tak satu pun kalimat yang dapat
dituliskannya. Hingga akhirnya, Mama mengetuk pintu, “Sudah jadi belum
suratnya?” tanya Mama dari luar. Dengan cepat Attar merobek surat itu dan
memasukkanya ke tempat sampah kering di dalam kamarnya. Ia malu kalau apa yang
baru saja ditulisnya dilihat oleh Mama. “Attar tidak bisa, Ma,” jawab Attar.
Mukanya tampak kemerahan menhan malu. “Kalau tidak bisa menulis surat, lebih
baik kamu menggambar,” kata Mama.
Attar
mulai mempersiapkan kertas gambar. Tangan – tangan kecilnya mulai membuat
coretan di kertas. Hampir satu jam Attar membuat lukisan. “Ma, ini sudah jadi.
Bisa nggak di kirimkan untuk Rini?” tanya Attar. “Bisa, tetapi harus dikemas
dulu agar tidak rusak. Besok Mama saja yang mengirimkannya,” kata Mama. “Attar
saja yang mengantarkan,” jawab Attar pasti. “Apakah kamu bisa?” tanya Mama agak
ragu. Attar mengangguk pasti, tetapi hatinya masih bertanya – tanya, bagaimana
perjalanan sebuah lukisan bisa sampai ke tangan Rini?
Keesokan
harinya, setelah sarapan dan berpamitan dengan Mama, Attar segera berangkat ke
sekolah. Attar dengan gembira membawa serta lukisan buatanya untuk dikirim kepada
Rini, sepulang sekolah nanti.
Sepulang
sekolah, Attar bergegas menuju kantor pos sambil membawa lukisan untuk Rini.
Attar sudah sampai di kantor pos. Ia menatap setiap loket yang melayani
berbagai jenis pengiriman yang berbeda. Attar bingung dan langsung menanyakan
kepada petugas kantor pos yang bernama Titik Widiati. “Bu, saya ingin mengirim
lukisan untuk teman saya yang berda di NTB” kata Attar kepada petugas kantor
pos itu. “Sudah beli prangkonya?” tanya petugas itu. “Belum,” jawab Attar. Bu Titik kemudian
mengeluarkan amplop besar dan memasukkan lukisan itu ke dalamnya. Attar
mengamati dengan saksama.
“Setelah
itu, tulislah nama da alamat tujuan,” lanjut Bu Titik lagi. “Kalau memakai
alamt sekolahnya boleh tidak, Bu?” tanya Attar. “Boleh saja, tetapi alamatnya
harus jelas,” jawab Bu Titik degan ramah. “Dan jangan lupa juga, tuliskan nama
dan alamt pengirim pada bagian belakang amplop,” kata Bu Titik mengingatkan.
Setelah
itu, Attar memilih perangko yang akan dibeli untuk lukisannya yang akan
dikirim. “Ada prangko biasa, prangko kilat, dan prangko khusus,” jelas Bu
Titik. “Mau prangko yang mana?” tanya Bu Titik. “Yang biasa saja, Bu,” jawab
Attar. Bu Titik kemudian, menempelkan prangko ke amplop Attar. Kemudian,
prangko yang sudah tertempel itu dicap. “Lukisanmu sudah selesai di proses,
sekarang tinggal dikelompokkan kemudian dikirim ke kantor pos tujuan. Lalu
petugas kantor pos tersebut akan yang akan mengantarnya ke alamat tujuan,”
jelas Bu Titik. “Oh, jadi begitu, ya. Terimah kasih, Bu. Attar pamitan pulang.
Posting Komentar